Almarhumah Wipa Damayanti bersama Fauzi Djibran,suaminya |
Kronologi kejadian berawal saat Wipa Damayanti yang hendak melahirkan anak ketiganya masuk pada Senin (3/12/2018) sekira sora hari di Puskesmas Pembantu (Pustu) Luwuk. Ketika dirawat pembukaan hanya 2 dan 3, dan kata keluarga korban tensi darah pasien tinggi. Setelah tidak ada perkembangan hingga pagi harinya surat rekomendasi untuk dirujuk ke RS Luwuk dikeluarkan Pustu Luwuk.
"Mereka bilang ini tidak bisa ditangani disini tidak ada dokter, bapak bawa saja langsung ke rumah sakit karena di sana lebih banyak dokter dan banyak yang ba urus," kata pria yang akrab dipanggil Om Oji itu menirukan perkataan bidan, kepada Banggai Raya, Rabu (5/2/2019).
Dari informasi yang diperoleh awak media ini di Pustu Luwuk Kamis,(7/2/2019) membenarkan bahwa pasien atas nama Wipa Damayanti pernah dirawat inap di tempat tersebut. Kata petugas jaga Pustu Luwuk, pasien dirujuk ke RS Luwuk karena sudah melewati batas skala satu, dimana ketika sudah melewati skala satu, pasien harus dirujuk ke rumah sakit, “Kita tidak bisa menahan pasien lebih lama, karena teorinya harus merujuk pasien ke tingkat fasilitas yang lebih canggih, di sini hanya bidan, di rumah sakit lebih banyak dokter dan lebih berpengalaman, ketika terjadi sesuatu masalah langsung calling dokter, sistemnya rumah sakit dan puskemas itu beda, ” kata Stevi, petugas yang berjaga di Pustu Luwuk.
“Dia masuk malam jam 8. Pagi juga diperiksa masih tetap pembukaan yang sama 4 centi seharusnya kalau anak ketiga itu, setiap satu jam maju 1 centi, teorinya begitu, makanya dirujuk ke rumah sakit,” tambah petugas lainnya.
Atas rekomendasi rujukan itulah, Selasa (4 /12/2018) dengan mobil ambulans dibawalah Wipa Damayanti ke RS Luwuk. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Wipa menjalani serangkaian pemeriksaan medis, salah satunya pemeriksaan tekanan darah. Istrinya sebut Om Oji, mengalami tekananan darah tinggi sehingga membutuhkan obat untuk menurunkan tekanan darahnya. Namun upaya mencari obat yang dianjurkan petugas medis di IGD hingga satu jam, Om Oji tidak berhasil menemukan obat tersebut di sejumlah apotek di Luwuk.
Selain permintaan mencari obat penurun tekanan darah, Om Oji juga oleh petugas medis dikatakan bahwa istrinya harus melahirkan hari itu juga. “Istri saya ditakut-takuti,” katanya.
Usai dari IGD, Wipa Damayanti di bawa ke ruang persalinan untuk menjalani proses melahirkan.
Di rumah sakit daerah itu, Om Oji disodorkan secarik kertas agar ditandatangani sebagai persetujuan tindakan medis untuk menyuntikan perangsang kepada istrinya.
Tak ada gambaran atau pertimbangan medis terkait langkah melahirkan normal yang diakuinya memang atas permintaan istrinya tersebut. "Inisiatif itulah yang mereka ambil bahwa dalam keadaan darahnya tinggi, mereka coba menjadi dasar untuk melahirkan normal walaupun ini membahayakan," terangnya.
Menurutnya, paling tidak seharusnya dokter atau asistennya ketemu dengan suami atau keluarga pasien yang ada di situ untuk memberikan gambaran dan pertimbangan medis terkait langkah yang akan diambil. "Ini langsung, pak tolong tanda tangan istrinya bapak maunya melahirkan normal ini mau disuntik," katanya.
"Kita ini orang awam, orang bodoh, seharusnya dokterlah yang paling tahu tindakan apa yang akan diberikan, jangan karena pakai BPJS, kami tidak dikasih masukan, kalau yang tidak pake BPJS baru kasih masukan," jelasnya.
Sekira usai Salat Zuhur, tindakan medis dengan menyuntikan perangsang kepada Wipa Damayanti dilakukan. Setelah upaya proses melahirkan normal yang dilakukan tim dokter, sekira pukul dua siang Wipa Damayani akhirnya melahirkan putri ketiganya. Namun, sebut Oji, istrinya mengalami pendarahan hebat. “Darahnya langsung drop,” ujarnya.
Tak hanya itu, ironinya, proses melahirkan tersebut dinilai Om Oji tanpa persiapan. Pasalnya, ketika terjadi pendarahan barulah pihak RS Luwuk menyarankan agar segera mencarikan darah buat pasien. Hal ini dianggap pihak RS Luwuk tidak mempersiapkan diri dalam hal penanganan medis istrinya.
"Pak torang mau ambil tindakan operasi supaya bapak punya istri selamat , tapi saya liat kondisinya memang sudah tidak bisa. Dalam kondisi begitu dorang baru mau operasi, tapi Alhamudulillah dorang te sempat operasi. waktu dibawa ke ruang operasi saya yakin sudah meninggal. Hampir jam dua keluar itu ade meninggal ibunya jam 4 lewat,"bebernya.
Tak hanya itu, persoalan mencari darah di Unit Transfusi Darah (UTD) pun tak berjalan mulus. Ketika Darah yang sangat dibutuhkan cepat itu pun harus melewati rangkaian proses adminitrasi yang memakan waktu nyaris satu jam.
"Gampang itu prosedur mau tanda tangan atau apa kan bisa menyusul. Padahal bisa salah satu keluarga tinggal menyelesaikan administrasinya yang penting keluarkan dulu darahnya. nanti mangamuk begitu, baru darong kasih keluar," bebernya.
"Orang somo mati baru dorang kase keluar darah baru bagaimana,ini bukan ayam yang mati bisa diganti yang baru, ini manusia." tambah Om Oji.
Usai mengambil darah di UTD Luwuk, Om Oji dengan segera mengambil 2 kantong darang dari 4 kantong yang disiapkan untuk operasi. Namun sesampainya di RS Luwuk, darah tersebut tidak juga digunakan. “Darah tidak dipake, disimpan begitu saja, cuma diimpus, saya curiga kalau istri saya dibawa ke ruang operasi itu cuma sebagai alasan saja, untuk menutupi kelalian mereka diruang bersalin, dari awal kenapa mereka tidak dioperasi nanti sudah pendarahan baru mau operasi,” katanya.
Tak lama berselang sekira pukul 16.00 Wita, Wipa Damayanti harus menghembuskan napas terakhirnya dengan darah yang masih terus keluar.
Peristiwa yang menimpa Wipa Damayanti meninggalkan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, apalagi kata Om Oji, istrinya rutin memeriksa kondisi kandungannya dimana tiga kali melakukan USG atau ultrasonografi ke dokter. "Mantri sendiri bilang maitua orang paling rajin ba periksa,kadang saya bonceng, kadang dia naik taksi sendiri," jelasnya.
Om oji yang sudah mengikhlaskan kepergian istrinya itu berharap agar peristiwa yang dialami Wipa Damayanti menjadi pelajaran pihak rumah sakit dan Unit Transfusi Darah Luwuk sehingga kedepan tidak ada lagi kasus serupa.
"Jangan menilai pasien dari uangnya tapi lebih mengutamakan keselamatan pasien. Membantu semaksimal mungkin menyelamatkan nyawa orang. Untuk adanya perubahan, ini sebagai intropeksi rumah sakit agar diadakan perubahan terutama di ibu-ibu melahirkan,"tandasnya.
Kepala UTD Luwuk, dr.Rasmina mengakui bahwa proses pengambilan darah di UTD paling cepat sekira 45 menit, sebab harus melaksankan rangkaian croscek. Apalagi jika membutuhkan darah lengkap bahkan bisa mencapai 2 jam. “Kita sudah sering sosialisasi ke perawat, kalau proses ambil darah itu lama, jadi sebelum melakukan operasi, memang seharusnya disiapkan dulu darahnya,” katanya.
Sementara itu, direktur Rumah Sakit Luwuk, dr.Gunawan yang dikonfirmasi melalui pesan WA, Minggu (10/2/2019) mengatakan secara umum semuanya sudah dilakukan petugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku.HRC