BANGGAI RAYA- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya mengeluarkan tiga butir rekomendasi terhadap kasus eksekusi Tanjung Sari, Kelurahan Karaton, Kecamatan Luwuk. Tiga poin rekomendasi itu ditujukan kepada Bupati Banggai, Herwin Yatim. Rekomendasi itu diserahkan oleh Wakil Ketua Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga di tiga tempat, yakni menyerahkan kepada warga Tanjung, lalu ke Kapolres Banggai dan Bupati Banggai, Kamis (31/5/2018).
Surat yang ditandatangani Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik itu bernomor 096/TUA/V/2018, dikeluarkan di Jakarta tertanggal 28 Mei 2018. Surat itu sifatnya segera, perihal rekomendasi Komnas HAM RI atas peristiwa penggusuran warga di Tanjung Sari, Luwuk, Kabupaten Banggai yang tidak prosedur oleh Pengadilan Negeri Luwuk berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI.
Komnas HAM menyampaikan hal rekomendasi agar Bupati Banggai dapat melaksanakn sebagaiman mestinya dalam rangka penegakan hak asasi manusia. Tiga butir rekomendasi itu, pertama, untuk segera mengambil langkah strategis dengan memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap warga Tanjung pascaeksekusi lahan dan tempat tinggal mereka dengan memberikan bantuan, baik berupa rumah aman dan fasiltas yang mereka butuhkan, sebagai bentuk tangung jawab pemerintah dalam perlindungan pemenuhan hak asasi manusia.
Kedua, untuk memastikan adanya jaminan bantuan logistik bagi masyarakat Tanjung Sari seperti kebutuhan pokok, sarana prasarana air bersih dan listrik.
Ketiga, membantu fasilitasi masyarakat Tanjung Sari apabila akan pindah ke tempat relokasi dan atau tempat tinggal sementara.
Rekomendasi itu dikeluarkan setelah Komnas HAM pada tanggal 9 hingga 12 Mei 2018 melakukan pemantauan dan penyelidikan atas peristiwa penggusuran warga Tanjung yang tidak sesuai prosedur oleh Pengadilan Negeri Luwuk berdasarkan amar putusan MA RI. Komnas HAM RI juga telah meminta keterangan dari berbagai pihak di antaranya Kapolda Sulteng, Sekda Provinsi Sulawesi Tengah, BPN Sulteng, Pansus Tanjung Sari Komisi I DPRD Sulteng, Bupati Banggai, Kapolres Banggi, Kepala BPN Banggai dan Pengadilan Negeri Luwuk.
Berdasarkan data dan informasi, fakta dan hasil peninjauan lapangan sesuai dengan pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia pada peristiwa penggusuran warga Tanjung, meliputi hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman dan hak memperoleh kesejahteraan.
Dari resume laporan, ada beberapa hal sehingga kasus eksekusi Tanjung mencederai hak asasi manusia.
Hak yang dicederai itu, seperti, hak untuk hidup. Bahwa peristiwa eksekusi yang terjadi mengakibatkan warga Tanjung Sari kehilangan hak untuk hidup tentram, aman, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir batin serta atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Anak anak mengalami trauma dan tekanan fisik. Pasal 9 ayat (3) UU nomor 39 tahun 1999 secara tegas menyebutkan, seluruh masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak mengembangkan diri. Bahwa sebagian anak usia sekolah tidak dapat lagi memperoleh pendidikan, bahkan tidak bisa mengikuti ujian nasional (UN) pasca eksekusi terjadi. Menjalani pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi anak usia sekolah baik di tingkat kanak kanak, dasar, menengah pertama dan menengah atas. Beberapa pasal yang memberikan jaminan hak pengembangan diri khusunya terkait pendidikan anak meliputi Pasal 11. Pasal 12 dan Pasal 13 UU nomor 39 Tahun 1999.
Hak memperoleh keadilan. Bahwa eksekusi ini telah menghilangkan hak mengakibatkan penghilangan atas hak keperdataan warga (sejumlah warga memiliki Sertifikat Hak Milik dan IMB), yang nota bene dilakukan oleh negara melalui surat perintah eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Luwuk.
Tindak lanjut dari penanganan kasus tentunya terus berproses pada pihak kepolsiain dalam hal ini Polda Sulteng dan Polres Banggai. UU nomor 39 tahun 1999 mengamanatkan dan menjamin setiap warga negara untuk memperoleh keadilan, misalnya: kesempatan mengakses informasi perkembangan atas suatu kasus, kesamaan perlakuan tiap warga negara di hadapan hukum dan objektivitas aparat kepolisian yang menangani suatu kasus.
Hak rasa aman. Bahwa akibat eksekusi tersebut rumah kediaman warga Tanjung Sari telah dihancurkan, namun mereka tidak bisa berbuat banyak kerena takut didiskriminalisasi/dipidanakan atas putusan eksekusi tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Rasa aman harus diperoleh setiap orang yang berada dalam kondisi tergusur. Saat ini mereka dalam situasi tertekan dan takut terhadap aparatur pemerintah, yang paling memperoleh perhatian adalah kondisi anak-anak yang mengalami trauma dan tekanan psikis.
Hak atas kesejahteraan. Bahwa tidak seorang pun dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, khususnya kepada warga yang memiliki alas hak. Perlindungan terhadap hak milik menjadi bagian dalam kategori hak atas kesejahteraan yang diatur dalam pasal 29 UU nomor 39 Tahun 1999, yang berbunyi. “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”.
Berdasarkan temuan di lapagan dan analisa dari presfektif HAM, beberapa hal disimpulkan. Yakni, pertama, eksekusi pada 19 Maret 2019 lalu, telah mengkibatkan banyak warga masyarakat kehilangan lahan dan tempat tinggal, serta menjadikan hidup mereka sekarang tidak menentu.
Kedua, eksekusi ini telah menghilangkah hak-hak keperdataan warga masyarakat, karena sejumlah warga memiliki IMB dan alas hak yang sah yakni, Sertifikat Hak MIlik (SHM) dan belum pernah ada pembatalan terkait alas hak tersebut.
Ketiga, dalam proses pelaksanaan eksekusi, BPN tidak pernah dilibatkan dalam memastikan luas lahan yang disengketakan. Selain itu, BPN hingga pelaksanaan eksekusi tidak pernah melakukan pengukuran tanah dan juga mengecek batas batasnya.
Keempat, eksekusi 19 Maret 2018 lalu dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Luwuk dan difasilitasi oleh TNI/Polri untuk menjaga situasi dan kondisi keamanan wilayah, namun berujung pada pembubaran dan bentrokan. Tidak lama kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Ketua Pengadilan Negeri Luwuk, Kapolres Banggai dan Kapolda Sulteng dmutasi oleh institusinya masing masing.
Kelima, Pemda Bangga, Pemprov Sulteng bersedia untuk memfasilitasi warga untuk pemenuhan logistik dan mediasi untuk kepentingan perkara di pengadilan. Diharapkan masyarakat dapat melakukan upaya hukum bersama kuasa hukum sesuai prosedur dan ketentuan yang ada.
Keenam, Kantor BPN Sulawesi Tengah dan kantor BPN Banggai menyatakan tidak bisa membatalkan SHM yang dimiliki oleh warga, karena tidak memenuhi unsur syarat yang dapat membatalkan seperti adanya muasyawarah/perundingan, hilang/tenggelamnya tanah dan lain lain.
Ketujuh, situasi keamanan di Kabupaten Banggi secara umum dan Tanjung Sari secara khusus cukup kondusif, Polres Banggai melakukan pendekatan intensif terhadap masyarakat dan tokoh masyarakat. Selain itu, Kapolda Sulteng berharap pada Kapolres Banggai agar mempertahankan situasi kemanan yang kondusif.
Kedelapan, penanganan laporan masyarakat tentang kepemilikan lahan, telah dilimpahkan oleh Bareskrim Polri ke Polda Sulteng. Dan saat ini, dalam proses penyelidikan dan penyidikan jajaran Ditreskrimum Polda Sulteng.
Surat itu ditembuskan kepada Ketua Komnas HAM RI di Jakarta, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Komnas HAM RI di Jakarta, Ketua Komisi III DPR RI di Jakarta, Kapolri Jalan Trunojoyo Nomor 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Ketua Komisi I DPRD Sulteng di Palu, Gubernur Sulteng di Palu, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM RI Provinsi Sulteng di Palu serta kepada Saudara Sumiati Lasiadi dkk dengan alamat Front Masyarakat Tanjung Bersatu di Luwuk serta arsip. MAD